Misteri Planet X yang akan
Menabrak Planet Bumi Latar Belakang
Kalangan “orang dalam” di NASA, DoD (badan inteligensi
militer), SETI maupun CIA
sudah memprediksikan, kalau
2/3 dari penduduk planet
bumi akan punah, ketika
terjadi pergantian kutub, yang disebabkan kedatangan
Planet X.
Sisa populasi yang bertahan
hidup, terancam bahaya
kelaparan dan radiasi elemen,
dalam jangka waktu 6 bulan setelah kejadian ini.
Semua operasi rahasia
menyadari kenyataan ini, dan
sudah menyiapkan diri
mereka. Konon, Vatikan juga
mengetahui hal tersebut. Namun sayangnya,
masyarakat luas dibiarkan
begitu saja tanpa informasi,
dibiarkan terlena dengan
kehidupan sehari-hari, tanpa
punya kesempatan untuk menyiapkan diri menghadapi
bencana ini.
Ada apa sebenarnya?
Bocornya segelintir informasi
dari kalangan “orang dalam” dan para pengamat, membuat
publik mulai tertarik akan hal
ini.
Kenapa bencana ini begitu
dirahasiakan dari masyarakat
luas? Jika sampai membuat kegemparan global, maka
akan mempengaruhi pasar
uang serta mengakibatkan
lumpuhnya perekonomian
dunia.
Seharusnya masyarakat luas diberikan kesempatan untuk
mempersiapkan diri. Mudah-
mudahan, setelah membaca
ini, kita bisa semakin waspada
ya!
Oke..saat ini, kalau kita jeli mengamati perkembangan
bencana alam, jumlah kejadian
bencana alam semakin
banyak.Ini diakibatkan
koneksi plasmatic
elektromagnetis antar planet. Sudah pernah dengar dong,
kalau matahari KONON
memiliki kembaran yang
gelap (versi gelapnya
matahari). Nah, disitulah lokasi
mengorbitnya Planet X. Tepat diantara matahari dan
kembarannya.
Catatan : kembaran matahari
tidak terlihat dengan mata
kita.
Tapi, para ilmuwan sudah menemukannya. Dalam
“Illustrated Science & Invention Encyclopedia ” volume ke 18, terbitan tahun
1987-1989, sudah dicantumkan
soal keberadaan kembaran
matahari ini.
Ini sejalan dengan gagasan
Rampino, Stothers (1984) dan sang legenda : Carl Sagan
(1985) yang juga berpendapat
serupa lewat Hipotesis Shiva-
nya, meski perulangan itu
dikatakan terjadi tiap 35 juta
tahun. Dengan gagasannya Whitmire dan Matessse
membayangkan tiap 30 juta
tahun sekali Nemesis melintas
di dekat Awan Komet Oort
dan gravitasinya membuat
awan kometini sangat bergejolak hingga melepaskan
ribuan kometisimal yang
selanjutnya melesat ke tata
surya bagian dalam akibat
kombinasi gravitasi Nemesis
dan Jupiter. Beberapa dari komet itu ‘mampir’ ke Bumi dan menimbulkan benturan
hebat yang memusnahkan
kehidupan secara massal.
Sayangnya, ketika satelit
IRAS (Infra Red Astronomical
Satellite) diluncurkan awal 1980-an dan memetakan jagat
raya pada spektrum sinar
inframerah, Nemesis ternyata
tidak pernah ditemukan.
Meski Nemesis dianggap
sebagai bintang yang sangat redup, logikanya, karena
masih membakar Hidrogen di
terasnya, ia tetap
memancarkan sinar
inframerah yang kuat
sebagaimana bintang2 cebol lainnya. Justru IRAS
menemukan komet IRAS-
Iraki-Alcox, komet redup
yang melintas sejauh 5 juta
km saja dari Bumi, komet
terdekat selama ini. IRAS juga menemukan 3200 Phaethon,
benda langit mirip asteroid
namun menyemprotkan
partikel2 dari permukaannya
dengan bentuk mirip ekor
komet dan dipastikan merupakan sumber dari hujan
meteor (shower) Geminids
yang terjadi tiap awal
Desember. So, IRAS juga tidak
pernah menyimpulkan telah
ditemukan benda langit dengan ciri2 seperti Nibiru.
Kalaupun planet nibiru itu ada,
dengan sifat2 fisik dan
orbitnya, peluangnya untuk
masuk ke tata surya bagian
dalam ataupun berbenturan dengan Bumi adalah nol. Meski
begitu, Selebaran Kiamatini di
sisi lain sedang mengingatkan
kita betapa terbukanya
potensi benturan Bumi dengan
benda2 langit dari Awan Komet Oort maupun Sabuk
Kuiper (baca : komet), meski
Bumi sudah ditamengi Jupiter
dan Bulan. Merujuk betapa
banyaknya jejak kawah
tumbukan di wajah Bulan, Barbara Cohen dan David
Kring (2002) menyimpulkan
Bumi pernah dihajar jutaan
bolide sekitar 2,8 milyar tahun
silampada peristiwa Late
Heavy Bombardment. Hajaran itu membentuk sedikitnya
22.000 kawah tumbukan
berdiameter lebih dari 20 km,
dengan 40 kawah diantaranya
benar2 berukuran raksasa dan
layak disebut basin, mengingat diameternya lebih
dari 1.000 km. Kini tak
satupun darikawah2 itu yang
tersisa, mengingat aktifnya
dinamika permukaan Bumi
oleh proses erosi dan gerakan lempeng2 tektonik.
Dua kawah tertua yang ada,
masing2 Vredefort (Afrika
Selatan, diameter 300 km) dan
Sudbury (Canada, diameter
250 km) berasal dari masa yang lebih muda (2 milyar
tahun silam). Andai hipotesis
Shiva benar, jika kita
menghitung balik dari dua
peristiwa tumbukan benda
langit terdahsyat terakhir, yakni peristiwa 65 juta tahun
silam (musnahnya Dinosaurus,
ditandai dengan terbentuknya
Kawah raksasa Chicxulub) dan
35 juta tahun silam
(terbentuknya Kawah Popigai di Russia, diameter 100 km,
dan Kawah Chesapeake Bay di
New YorkCity, diameter 95
km), nampaknya siklus
bencana 30-35 juta tahun akan
terulang lagi di masa kini, periode dimana manusia
hidup. Berkait tumbukan ini,
menarik sekali bahwa di
region Asia Tenggara,
sebagian Australia, Taiwan,
China dan P. Madagaskar, bahkan ada juga yang
mengatakan hinggake Eropa
Tengah dan Texas, telah
ditemukan tektit, yakni
butir2 batuan beku khas
produk tumbukan benda langit. Di Indonesia tektit ini
bisa ditemukan di Jawa
(terutama di Sangiran),
Belitung, Kalimantan dan
Ambon. Tektit yang disebut
tektit austral-asia ini terjepit di sedimen berumur pleistosen
tengah atau dari masa 0,77
juta tahun silam.
Di dalam tektit ini ditemukan
pula mineral coesite, sejenis
kuarsa yang termetamorfosis oleh tekanan luar biasa besar
(200ribu ton per meter
persegi !), yang secara alami
hanya diproduksi oleh
tumbukan benda langit. Jelas
bahwa sebaran tektit austral- asia berasal dari tumbukan
benda langit pada 0,77 juta
tahun silam. Melihat betapa
luas sebarannya, Edward Chao
– yang bersama empat serangkai : Eugene Shoemaker
(alm), Nicholas M. Short, B.M.
French dan W von Engelhardt
menjadi pionir penyelidikan
dan pembuktian tumbukan
benda langit di dekade 1960an – menyebut tektit itu bisa disamakan dengan sebaran
global lempung hitam tipis
yang terjepit di antara
sedimen zaman Kapur
danTersier. Lempung hitam ini
jadi demikian populer karena amat kaya dengan iridium dan
jadi salah satu penanda
terjadinya tumbukan dahsyat
65 juta tahun silam, yang
membentuk Kawah raksasa
Chicxulub sembari mengiamatkan 75 % populasi
makhluk hidup saat itu. Maka
skala tumbukan yang
membentuk tektit austral-
asiapun menyamai
dahsyatnya pembentukan Kawah Chicxulub.
Hampir semua paper yang
mengupas genesis
tektitaustral-asia menyebut
kawasan Asia Tenggara
merupakan titik permukaan Bumi yang dihantam bolide
pada 0,77 juta tahun silam itu.
Menariknya, survey di Laut
Cina Selatan selama 1 dekade
(1989 – 1999) menggunakan satelit GEOSAT dan SEASAT
berhasil mendeteksi sebuah
struktur sirkular raksasa
berdiameter 100 km di 13° 36 ′ LU 110° 30 ′ BT. Meski belum diteliti lebih lanjut (karena
untuk itu perlu dibor dan
dicek tipe batuannya) diduga
kuat inilah kawah raksasa itu.
Satu hal yang harus diingat,
meski (anggaplah) tumbukan versi hipotesis Shiva itu sudah
terjadi 0,77 juta tahun silam,
dalam sejarahnya jarang
sekali dijumpai tumbukan
benda langit (terutama yang
membentuk kawah2 raksasa) dari bolide tunggal,
kebanyakan dihasilkan oleh
beragam bolide yang datang
secara berentetan selama 1-2
juta tahun (rentang waktu
yang tergolong pendek dalam skala waktu geologi). Pola
khas ini nampak dari
terbentuknya kawah
Chicxulub yang segera diikuti
dengan pembentukan 7 buah
kawah tumbukan lain, masing2 Eagle Butte (Canada),
Gusev (Russia), Belize
(Meksiko), Alvaro Obregon
(Meksiko), Haiti (Laut Karibia),
Silverpit (lepas pantai Inggris)
dan sau kawah tak bernama di dasar Samudera Pasifik.
Begitu pula terbentuknya
Popigai, yang langsung disusul
dengan munculnya kawah
Chesapeake Bay (AS) dan
struktur Fohn di celah Timor. Dan kawah di Laut Cina
Selatan ini ? Memang
sebelumnya telah terbentuk
kawah Zhamanshin
(Kazakhstan, diameter 14 km,
0,9 juta tahun silam), Bosumtwi (Ghana, diameter
10,5 km, 1,1 juta tahun silam),
Eltanin (Laut Bellingshausen,
diameter 40 km, 2,15 juta
tahun silam) dan Kara-Kul
(Tajikistan, diameter 50 km, 3 juta tahun silam). Namun kita
tidak pernah tahu apakah
kawah di Laut Cina Selatan
tadi merupakan “penutup ” rangkaian tumbukan itu atau
hanya bagian dari sejarah
mencekam yang sedang
bergulir sampai detik ini.
Melihat Planet X
Hanya teleskop terbesar (yang dijaga ketat) bisa
digunakan untuk melihat
Planet X. Sejumlah
observatorium kecil di dunia
mencatat keberhasilan melihat
Planet X di awal tahun 2001. Dr.Harrington, rekan sejawat
dari Ilmuwan dan arkeolog
Zecharia Sitchin, yang pertama
meyakini keberadaan NIBIRU
atau Planet X berdasarkan
catatan kuno orang Sumeria, meninggal mendadak akibat
kecelakaan. Diduga ini
disebabkan keberanian
Harrington mengekspos
penemuan planet ke 10 yang
dikenal dengan nama Planet X ini, guna melengkapi teori
Sitchin.
Sejak peristiwa ini, para
ilmuwan memilih tutup mulut
dan tak mau bicara banyak
soal Planet X dan aktivitasnya. Saat Zecharia Sitchin
menerbitkan buku yang
didasari tulisan terjemahan
bangsa Sumeria Kuno, Sitchin
menyatakan ada 12 planet di
tata surya kita. Saat buku diterbitkan (tahun 1970an),
Teori Sitchin ditertawakan.
Tapi, saat satu persatu temuan
ilmuwan membuktikan
bahwa Teori Sitchin benar …, statement Sitchin mulai
diawasi ketat.
Dalam bukunya, “The 12th Planet”, Sitchin menulis tentang legenda “Komet Kiamat ” atau “Nemesis” yang muncul secara periodic dan
menciptakan kehancuran.
0 Komentar:
Posting Komentar